Saturday, July 17, 2010

PROMO TOUR THE MANGROVE FOREST IN NATIONAL PARK RAWA AOPA WATUMOHAI STILL GRAVID

     The National Park Rawa Aopa Watumohai (TNRA) located in Southeast Sulawesi province, an area stretching 105 194 ha, has some different charm is worthy of visiting. The area set as a National Park based on The Forestry Ministerial Decree in 1990, has arranged its borders since the year 1985 the limit s / d in 1987 with the overall length limit of 366 674 km and located in four districts namely Konawe, Kolaka, Sout Konawe and Bombana. Appointment as a conservation area can effectively protect the unique biodiversity in the Southeast Sulawesi. The most important addition, this region is the catchment area or water catchment for the continuation of human life.
     Visiting the National Park Rawa Aopa Watumohai (TNRA), it seems incomplete if not journey to the mangrove forest ecosystem, this area is one of the pride of National Park Rawa Aopa Watumohai. The mangrove forest ecosystem is 24 kilo meter stretch along the beach Lanowulu, ranging from The Raroraya River estuary to the Langkowala River with an area of 6173 hectares. To reach this area takes about three hours by a car from the city of Kendari,  Southeast Sulawesi provincial capital, with the distance + 125 km and is followed by a motorized fishing boats or katinting, approximately 15-30 minutes. Enjoying the the most widespread cool area of mangrove forests in the The region of Southeast Sulawesi.
     This area is very lush and green because dominated by plants from Family Rhyzopharaceae or mangroves such as Rhizophora mucronata (black mangrove) Rhizophoraapiculata (white mangrove), Bruguiera gymnorhyza (tongke / coke) and Ceriops tagal (tangir). Moreover, there are also beropa (Sonneratia alba) from the family Sonneratiaceae, Unga-Unga (Lumnitzera littorea) from the family Combreataceaae and plant of jars (xylocarpus granatum of the family Meliaceae), so is becoming a separate interest to enjoying the journey by using a boat.
     Not only that, the mangrove forest is also a habitat (Spawning ground) and development (nursey and feeding ground), and the habitat from various the fish and crustacean species commercially important, such as blue swimmer crab (Portunus spp.), Crab (Scylla serrata) , and white shrimp (Penaeus margauiensis) and be the looking place  for food from various kinds of the water birds such as Aroweli (Mycteria cinerea), the Little Cormorant snake (Anhinga melanogaster), Purple Heron (Ardea purpurea), heron (Egretta intermedia), grouse (Dendrocygna) and variety of other birds. This area is also a habitat of various mammals and reptiles such as the Anoa lowland (Buballus depressicornis), wild boar (Sus celebensis), Deer (Cervus timorensis), estuarine crocodiles (Crocolylius porosus), monitor lizard (Varanus dalvator) and Snake fields (Phyton reculatus ).
     The natural panoramic of mangrove forests with natural conditions and dense with regular zoning is naturally neat, natural brackish marsh with an area of one to four hectares, more and add to the beauty and uniqueness of the mangrove ecosystems TNRAW. Because of the uniqueness and biodiversity which is owned by a mangrove forest in TNRAW, this region is very well suited for recreational activities such as ecotourism, photo hunting, fishing, diving, snorkeling, swimming and sunbathing.
     In this area too, we can record in near future, the traditional village Bugis, who live on the water, with a natural friendly traditional of the Bugis culture. They are the people who become partners of the Central TNRAW in mangrove forest conservation has long been settled in ten estuaries in the region. They live with the natural condition and traditional, their livelihood is fishing by using the traditional fishing gear. In this village, we could see them catch fish, crabs and shrimps by using traditional tools such as Togo, Bubu, sero and conventional nets. In these places, we are also able to buy, their catches are still fresh, and saw the production of dried shrimp paste and dried shrimp are genuine and natural that can be souvenirs.
     In addition to ecotourism activities, the existence of this mangggrove forests also serve as one of the natural fortress for preventing coastal from erosion and high waves, who that could destroy the existence of National Park. Unfortunately, the charm of beauty, the unique and important value held by this area, still buried by the lack of promotion of this region and still fell on the problems of limited means and prasarana for tourists. Besides the threat of forest destruction, as well dikhwatirkan, along with its potentiality is always evocative of human desire to indulge in it.
     "The potential in the mangrove forest ecosystem is still relatively intact, awake and original, although there are still too little interference from outsiders National Park, usually they are fishermen who are not built out of us, who came to cut down mangrove trees clandestinely. To anticipate them, we often conduct routine patrols every day, but because of limited personnel and this place is very broad, making this place is vulnerable to vandalism, "said Dwi Putro Sugiarto, Forest Ecosystem Control Coordinator of National Park Rawa Aopa Watumohai.
     Furthermore, Dwi Putro Sugiarto explained, the solution of personnel limitations and the wide area patrols, making TNRAW cooperate with the fishermen who have become partners TNRAW, to keeping this mangrove forest. "To help us, usually fishermen also patrolling on their own initiative while searching for fish and crabs, and if they find people who destroy mangrove forests, the fishermen not hesitate to stop their and direct action to report it to us "continued Dwi Putro Sugiarto.
The National Park Rawa Aopa Watumohai has tremendous assets that need to be maintained and preserved, because if not, the enchantment will stay be memorable and will be buried forever along with the minimum of management and promotion of tourism potential of the charm of this mangrove forest.


The Text below is the translation in Indonesian,

PESONA HUTAN MANGROVE DI TNRAW MASIH TERKUBUR


     Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRA) yang terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara, membentang seluas 105.194 ha, menyimpan berbagai pesona yang patut di kunjungi. Kawasan yang di tetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 756/kpts-II/1990 ini, telah ditata batas sejak tahun 1985 s/d 1987 dengan panjang batas keseluruhan 366.674 km yang terletak di empat wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Konawe, Kabupaten Kolaka,Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten Bombana. Penunjukannya sebagai kawasan konservasi dapat secara efektif melindungi keanekaragaman hayati yang unik di Sulawesi Tenggara. Disamping itu yang paling penting, kawasan ini merupakan daerah tangkapan atau resapan air bagi kelangsungan kehidupan manusia.
     Berkunjung ke Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRA)ini, tak lengkap rasanya jika tidak menikmati pesona Hutan Mangrove yang menjadi salah satu primadona ekosistem di Taman Nasional ini. Ekosistem Mangrove ini membentang 24 kilo meter sepanjang Pantai Lanowulu, mulai dari muara Sungai Raroraya sampai Sungai Langkowala dengan luas 6.173 hektar. Untuk menjangkau kawasan ekosistem mangrove ini diperlukan waktu sekitar tiga jam perjalanan dari Kota Kendari, ibu kota provinsi Sulawesi Tenggara, dengan jarak tempuh + 125 km dan dilanjutkan dengan menaiki perahu nelayan bermotor atau katinting selama kurang lebih 15-30 menit sambil menikmati sejuknya kawasan hutan bakau yang terbilang paling luas di wilayah Sulawesi Tenggara ini.
     Lebat dan hijaunya kawasan ini karena didominasi oleh tumbuhan dari Family Rhyzopharaceae atau bakau seperti : Rhizophora mucronata (bakau hitam) Rhizophoraapiculata ( bakau putih ), Bruguiera gymnorhyza (tongke/coke) dan Ceriops tagal (tangir). Selain itu, di kawasan ini pula terdapat tumbuhan beropa (Sonneratia alba) dari family Sonneratiaceae, unga-unga (Lumnitzera littorea) dari family Combreataceaae dan tumbuhan buli ( xylocarpus granatum dari family Meliaceae), sehingga menjadi ketertarikan tersendiri dalam menikmati perjalanan menjelajahi kawasan ini dengan menggunakan perahu.
     Tidak hanya itu, hutan bakau ini juga menjadi habitat, tempat pemijahan (spawning ground) dan perkembangan (nursey and feeding ground) berbagai spesies ikan dan crustacean yang penting secara komersial, seperti kepiting rajungan (portunus spp.), kepiting bakau (Scylla serrata), dan udang putih (penaeus margauiensis) serta merupakan tempat mencari makan dari berbagai jenis burung air seperti aroweli (Mycteria cinerea), pecuk ular (Anhinga melanogaster), cangak merah (Ardea purpurea), bangau (Egretta intermedia), belibis (Dendrocygna) dan berbagai burung lainnya. Kawasan ini pula menjadi habitat dari berbagai mamalia dan reptile seperti anoa dataran rendah (Buballus depressicornis), babi hutan (Sus celebensis), Rusa (Cervus timorensis) , buaya muara (Crocolylius porosus), biawak (Varanus dalvator) dan Ular sawah (Phyton reculatus).
     Keindahan panorama alam hutan bakau dengan kondisi alami dan lebat dengan zonasi yang teratur rapi secara alami, rawa payau alam dengan luasan 1 hingga 4 hektar, semakin menambah keindahan dan kekhasan ekosistem mangrove TNRAW. Karena keunikan dan keanekaragaman hayati yang di miliki oleh hutan mangrove di TNRAW ini, membuat daerah ini sangat sangat cocok bagi kegiatan ekowisata seperti rekreasi, photo hunting, memancing, menyelam, snorkeling, berenang, dan berjemur.
     Di kawasan ini pula, kita dapat merekam secara dekat kehidupan perkampungan tradisional suku bugis yang hidup di atas air, dengan budaya bugis tradisional yang ramah dalam kondisi yang serba tradisional dan alami. Mereka adalah masyarakat yang menjadi mitra dari Balai TNRAW dalam pelestarian hutan bakau yang telah lama bermukim di sepuluh muara sungai di kawasan ini. Mereka hidup dengan kondisi yang serba tradisional dan alami dengan mata pencaharian utama adalah nelayan dengan menggunakan alat tangkap tradisional. Di kampung ini, kita bisa melihat mereka menangkap ikan, kepiting dan udang dengan menggunakan alat tradisional seperti togo, bubu, sero dan jaring konvensional. Di tempat ini pula Kita juga dapat membeli hasil tangkapan mereka yang masih segar, serta melihat produksi terasi dan ebi kering yang asli dan alami yang dapat di jadikan ole-ole.
     Selain kegiatan ekowisata , keberadaan hutan mangggrove ini juga berfungsi menjadi salah satu benteng alam mencegah abrasi pantai dan dari gelombang tinggi yang dapat menghancurkan keberadaan Taman Nasional ini. Sayangnya, pesona keindahan, keunikan dan nilai penting yang dimiliki oleh TNRAW ini, masih terkubur oleh kurangnya promosi mengenai wilayah ini dan masih tertumbuk pada permasalahan terbatasnya sarana dan prasarana bagi wisatawan. Selain itu ancaman pengrusakan hutan, juga dikwatirkan, seiring dengan potensi yang dimilikinya yang selalu menggugah keinginan manusia untuk beraktifitas di dalamnya.
     “Potensi ekosistem di dalam hutan mangrove ini masih relative utuh, terjaga dan asli, meski masih ada pula gangguan sedikit dari orang luar Taman Nasional, biasanya mereka adalah nelayan luar yang bukan binaan dari kami, yang datang menebang pohon bakau secara sembunyi-sembunyi, untuk mengantisipasinya kami sering melakukan patroli rutin setiap hari, tetapi karena keterbatasan personil dan luasnya wilayah, tempat ini pula rentan pengrusakan “, ungkap Dwi Putro Sugiarto, Koordinator Pengendali Ekosistem Hutan TNRAW.
     Lebih jauh, Dwi Putro Sugiarto menjelaskan bahwa, solusi dari keterbatasan personil dan luasnya wilayah patroli, membuat pihak TNRAW bekerja sama dengan nelayan muara yang sudah menjadi mitra dan binaan TNRAW, dalam menjaga kawasan hutan mangrove ini. “Untuk membantu kami, biasanya nelayan binaan TNRAW juga berpatroli dengan inisiatif sendiri sambil mencari ikan dan kepiting, dan jika menemukan orang yang merusak, para nelayan ini tak segan-segan menghentikan aksi perusakan dan langsung melaporkannya kepada kami” lanjut Dwi Putro Sugiarto.
     Kawasan TNRAW ini memang memiliki asset yang luar biasa yang perlu dijaga dan dilestarikan, karena jika tidak, pesonanya akan tinggal menjadi kenangan dan akan terkubur selamanya seiring dengan kurangnya pengelolaan potensi dan promo wisata tentang pesona hutan mangrove ini.

0 comments:

Post a Comment